Kamis, 14 Mei 2009

Konsep Aropolitan

Kunci-kunci Keberhasilan
Pengembangan Agropolitan
Oleh : Iwan Setiajie Anugrah

Konsep agropolitan mencoba untuk mengakomodasi dua hal utama, yaitu menetapkan
sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama dan diberlakukannya
ketentuan-ketentuan mengenai otonomi daerah.
Secara garis besar, konsep agropolitan mencakup beberapa dimensi yang meliputi: (a).
Pengembangan kota-kota berukuran kecil sampai sedang dengan jumlah penduduk
maksimum 600.000 jiwa dan luas maksimum 30.000 hektar (setara dengan kota
kabupaten); (b). Daerah belakang (pedesaan) dikembangkan berdasarkan konsep
perwilayahan komoditas yang menghasilkan satu komoditas/ bahan mentah utama dan
beberapa komoditas penunjang sesuai dengan kebutuhan; (c). Pada derah pusat
pertumbuhan (kota) dibangun agroindustri terkait, yaitu terdiri atas beberapa perusahaan
sehingga terdapat kompetisi yang sehat; (d). Wilayah pedesaan didorong untuk
membentuk satuan-satuan usaha yang optimal dan selanjutnya diorganisasikan dalam
wadah koperasi, perusahaan kecil dan menengah, dan (e). Lokasi dan sistem transportasi
agroindustri dan pusat pelayanan harus memungkinkan para petani untuk bekerja sebagai
pekerja paruh waktu (partime workers).
Terdapat syarat kunci untuk pembumian agropolitan Nasoetion (1999) dalam Sudaryanto
dan JW Rusastra (2000) yakni: (1). Produksi dengan bobot sektor pertanian; (2). Prinsip
ketergantungan dengan aktivitas pertanian sehingga neuro-systemnya; (3) Prinsip
pengaturan kelembagaan; dan (4). Prinsip seimbang dinamis.
Keempat syarat kunci tersebut bersifat mutlak dan harus dikembangkan secara simultan
dalam aplikasi pengembangan agropolitan. Kurang berhasilnya program SPAKU (Sentra
Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan), Program Inkubasi Bisnis, Program
Pengembangan Wilayah Terpadu (khusus bobot pertanian) dan program sejenis lainnya,
disebabkan oleh sifatnya yang persial dan tidak mengakomodasi secara utuh dan simultan
keempat syarat utama pengembangan agropolitan tersebut.
Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah pedesaan, maka pemahaman konsep
agropolitan dalam pengembangan wilayah merupakan yang penting, karena hal ini akan
memberikan arah dasar perencanaan pembangunan perdesaan dan aktivitasnya dalam
proses pengembangan wilayah selanjutnya.
Konsep agropolitan sebetulnya merupakan konsep yang ditawarkan oleh Friedman dan
Douglas (1975) atas pengalaman kegagalan pengembangan sektor industri di beberaa
negara berkembang (di Asia) yang mengakibatkan terjadinya berbagai kecenderungan,
antara lain (a). Terjadinya hyperurbanization, sebagai akibat terpusatnya penduduk di
kota-kota yang padat; (b). Pembangunan “modern” hanya terjadi di beberapa kota saja,
sementara daerah pinggiran relatif tertinggal; (c). Tingkat pengangguran dan setengah
pengangguran yang relatif tinggi; (d). Pembagian penadapatan yang tidak merata
(kemiskinan); (e). Kekurangan bahan pangan, akibat perhatian pembangunan terlalu
tercurah pada percepatan pertumbuhan sektor industri (rapid industrialization); (f).
Penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat desa (patani) dan (g). Terjadinya
ketergantungan pada dunia luar.
Konsep agropolitan berdasarkan Friedman (1975) dalam Harun ( 2001), yaitu terdiri dari
distrik-distrik agropolitan sebagai kawasan pertanian pedesaan yang memiliki kepadatan
penduduk 200 jiwa per km2 dan di dalamnya terdapat kota-kota tani dengan jumlah
penduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Sementara luas wilayah distrik adalah cummuting berada
pada radius 5 – 10 km, sehingga akan menghasilkan jumlah penduduk total antara 50.000
– 150.000 penduduk yang mayoritas bekerja di sektor pertanian (tidak dibedakan antara
pertanian modern dan pertanian konvensional) dan tiap-tiap distrik dianggap sebagai
satuan tunggal yang terintegrasi.
Penerapan konsep agropolitan di lapangan haruslah: (1) melibatkan sejumlah besar petani
pedesaan (ratusan s/d jutaan) bersama-sama pengembangan kota-kota pusat pertanian
untuk pembangunan pertanian secara integreted; (2) keterlibatan setiap instansi sektoral di
pedesaan untuk mengembangkan pola agribisnis dan agroidustri harus berjalan secara
simultan; (3) tercapainya keserasian, kesesuaian dan keseimbangan antara pengembangan
komoditas unggulan dengan struktur dan skala ruang yang dibutuhkan; (4) adanya
kesinambungan antara pengembangan dan pembinaan sarana dan prasarana wilayah,
seperti irigasi dan transportasi antara daerah produksi pertanian dan simpul-simpul jasa
perdagangan dalam program perencanaan jangka panjang; (5) realisasi dari
pengembangan otonomi daerah untuk mengelola kawasan pertanian secara mandiri,
termasuk kewenangan untuk mempertahankan keuntungan komparatif bagi penjaminan
pengembangan kawasan pertanian; (6) diperlukan adanya kemudahan-kemudahan dan
proteksi terhadap jenis komoditas yang dihasilkan baik di pasar nasional maupun luar
negeri, pada saat kondisi infant-agroindustry; (7) secara ekologis, hampir sulit untuk
dihindari akan terjadinya efisiensi produksi pertanian ke arah monokultur-agroindustri
dalam skala besar yang rentan.
Dari paparan ini maka kunci keberhasilan pembangunan agropolitan (Harun,2001) adalah
dengan memberlakukan setiap distrik agropolitan sebagai suatu unit tunggal otonom
mandiri, dalam artian selain menjaga tidak terlalu besar intervensi sektor-sektor pusat
yang tidak terkait, juga dari segi ekonomi mampu untuk mengatur perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan pertaniannya sendiri, tetapi terintegrasi secara sinergik dengan
keseluruhan sistem pengembangan wilayahnya. Dengan demikian pengembangan wilayah
agropolitan memerlukan komitmen awal, konsistensi serta perubahan mendasar dalam
pembangunan daerah selama ini. Jika hal-hal tersebut tidak dipenuhi maka secara umum
keberhasilan penerapan konsep agropolitan terutama bagi pembukaan daerah-daerah baru
(seperti program transmigrasi), kemungkinannya relatif kecil.

I w a n S e t i a j i e A n u g r a h
Penulis dari Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor
(Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 17 Maret 2003